Udara malam terus mengiringi lantunan suara ayat
suci Al-Qur’an yang mengalun indah terdengar semakin nyaman dan semakin
sulit untuk membuka mata. Alunan ayat-ayat Al-Qur’an membawaku ke alam
bawah sadar yang semakin dalam, seolah terhipnotis akan keindahan
syair-syairnya. Perlahan suara itu hilang, tubuh ini terasa tergoyang.
Semakin lama, semakin kencang membuat mataku terbuka dan akupun
terbangun dari tidur.
“Mush, Mushola bangun. Udah adzan loh, sholat dulu gih!” Seru lembut wanita cantik yang tanpa sadar sudah lama menggoyang-goyangkan tubuhku itu.“Iya.”jawabku singkat dan pelan.
Dengan rasa kantuk yang masih menempel aku mengambil air wudhu, kemudian kita melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Seusai sholat dan do’a, aku melontarkan pertanyaan yang selama ini kian menjalar di syaraf otakku.
“Bagaimana bisa aku memiliki nama yang semua temanku pikir itu tidak gaul, tidak modern dan aneh? Apa tidak ada lagi nama lain selain Mushola? Setiap hari aku dibully di sekolah hanya karena nama itu yang aku anggap wadah kesedihan.” Aku mengeluh padanya dan tertunduk bingung.
“Orangtua tidak akan memberi nama tanpa arti, pasti ada makna disetiap nama yang orangtua berikan, dan orangtua memberi nama pada anaknya adalah nama yang sebaik-baiknya.Ya, termasuk namamu.”
Pagi itu
Marisa bergegas menyiapkan perlengkapan kuliahnya, tepat pukul 07.00 ia
pergi ke kampus padahal jam kuliah masuk pukul 10.30, dan jarak antara
kost dengan kampusnya tidak sampai 5 KM. Tapi begitulah kebiasaan Marisa
setiap hari, meski jam kuliahnya siang, pagi, sore, tetap saja ia
berangkat pagi.
Sesampainya di kampus tempat pertama ia tuju adalah tempat favoritnya, bahkan sudah ia nobatkan sebagai rumah kedua, yaitu Mushola. Tempat yang bisa dibilang sempit, tidak seluas ruangan kelas dan sebagus ruangan-ruangan lain di kampus, namun baginya hanya tempat itulah bisa tercurahkan semua rasa hatinya.
Pada
tertera tulisan batas suci, Marisa berhenti sejenak melepaskan sepatunya
berwarna merah jambu bermotif bunga. Sepatu yang menurutnya sangat
unik, tidak ada satupun temannya memiliki sepatu persis model dan motif
unik itu. Benda kesayangan dimilikinya, buah tangan temannya dari
Turkey, lalu ia letakkan dengan rapi di dalam rak kayu sebagai tempat
penyimpanan alas kaki. Hatinya ingin segera menyentuh air wudhu membasuh
sebagian anggota tubuh untuk melaksanakan sholat duha dua raka’at dan
disambung membaca kitab suci Al-Qur’an dengan fasih.
Ketika bibir
Marisa sedang menikmati bacaan makhraj Al-Qur’an serta pikiran dan
kalbu mengartikan tiap makna ayat yang terkandung, ada suara yang
mengalihkan dirinya, terdengar takbir dari tempat sholat ikhwan. Suara
takbir melalui rambatan gelombang dan getaran hingga menghasilkan bunyi
yang sangat jelas dari balik sekat kain berwarna coklat muda itu, juga
berfungsi pemisah tempat sholat laki-laki dan perempuan. Hati Marisa
bergetar mendengar takbir itu, sungguh takjub dengan ikhwan yang sedang
melaksanakan sholat duha tersebut, karena ia pikir sangat langka di
zaman seperti kembali Jahiliyyah ini melihat ikhwan apalagi anak muda
yang rela menyisihkan waktu dipagi harinya untuk melaksanakan sholat
duha.
Marisa melanjutkan membaca ayat suci Al-Qur’an, kali ini ia
baca dengan pelan selama ikhwan itu melaksanakan sholat,karena ia takut
membuyarkan kekusyu’an sholat ikhwan tersebut.
Sesekali Marisa
mengintip dari bawah kain pembatas tempat sholat yang tidak sepenuhnya
menyentuh lantai, memastikan apakah ikhwan tersebut sudah keluar atau
belum. Pikiran khayal Marisa memuncak seketika, andai saja ikhwan itu
menjadi imamku kelak, mungkin aku adalah orang yang paling beruntung di
dunia ini, begitulah pikiran nakal Marisa, seketika ia sadar langsung
beristighfar.
“Astaghfirullah, mikir apa sih kamu ini Marisa.” gerutunya pada diri sendiri sembari mengelus dada. Terkadang, menjomblo selama 9 tahun membuat Marisa resah tentang jodoh, namun ia punya obat ampuh untuk melipur gundahnya. Marisa berteguh pada firman Allah dalam surat (An-Nisaa 4:1) yang artinya :
“Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali.”
Ayat tersebut yang membuat Marisa semakin istiqomah dengan
kesendiriannya, selalu menundukan pandangan jika berpapasan dengan bukan
mahramnya, tetap optimis bahwa Allah telah menyiapkan jodoh untuknya,
tanpa ia mendekati laki-lakipun suatu saat nanti pasti Allah
mempertemukan pendamping hidup yang diridhoi-Nya.
Bagaimanapun
juga Marisa adalah perempuan layaknya perempuan lainnya, yang bisa jatuh
cinta pada siapa saja yang ia rasa baik dimata dan hatinya. Selama ini
Marisa memendam perasaan cinta pada laki-laki yang ia kenal di sebuah
group dakwah di media sosial Facebook, entah mengapa setiap laki-laki
itu memposting berbau agama Islam, muncul perasaan kagum dalam hati
Marisa.
Tutur katanya yang santun, pola pikirnya yang matang,
dan kecintaanya kepada Allah membuat Marisa merasa nyaman jika sharing
dengannya. Keluluhan hatinya tak membuat rasa cinta Marisa kepada Allah
menjadi pudar, prinsip masalah cinta dalam hidupnya ialah cinta
sebelumnya menomorsatukan Allah SWT.
Sepulang dari kampus Marisa
merebahkan tubuhnya di atas kasur mungil kamar kostnya, guna
menghilangkan kelelahan dan kepenatan setelah seharian beraktifitas
ditambah tugas kuliah yang menumpuk.
Dalam istirahatnya
diselingi dengan menyalakan laptop putihnya lalu membuka akun Facebook
sekedar refreshing. Ia melihat banyak notification. Diantaranya nick
name Muhammad Faridz mengirim sesuatu di group dakwah itu. Dengan penuh
energi, terasa semangat Marisa terisi kembali membuka notification
tersebut.
Di sana tertulis “Wahai An-Nisaa, tak bisa kulihat
raut wajahmu, tapi aku berharap kaulah jodohku, kau yang memberi
penenang jiwa, kau penawar rindu, kau yang mampu melepas rasa penat di
pikiranku, suaramu membuat kalbu ini sejuk, kau yang di sana semoga
Allah selalu melindungimu.” Begitulah bunyi postingan Faris laki-laki
yang berhasil membuat Marisa kagum. Postingannya dibanjiri jempol dan
komentar.
Marisa yang biasanya ikut andil memberikan like dan comment,
namun saat itu ia hanya terpaku, kadar antusias kepadanya menurun.
Ternyata laki-laki yang selama ini ia kagumi sudah terikat hatinya
dengan perempuan lain, mungkin terasa remuk setelah luka yang menyayat
hati dan kepedihan menyulap keheningan seisi kamar kost Marisa.
Jemarinya memainkan tombol keyboard, saat proses loading tiba-tiba ada satu pesan.
Jemarinya memainkan tombol keyboard, saat proses loading tiba-tiba ada satu pesan.
“Assalamu’alaikum ukhti?” Marisa kaget, pesan itu dari Faridz, tidak biasanya ia mengirim pesan. Aneh.Paling-paling kalau chatting Marisa yang terlebih dahulu mengirim pesan, itupun dalam konteks yang serius seperti bertanya seputar agama, politik dan lain-lain.
Terlintas dipikirannya untuk tidak membalas tapi tidak ada alasan untuk tidak membalas. “Wa’alaikum salam akhi, ada apa?” Marisa tidak hanya menjawab salamnya, terpaksa ia tanya dan berharap penasarannya segera mereda karena Faris yang mengirim message terlebih dahulu. Membalas pesannya
“Ukhti nanti mau ikut?” tanya laki-laki yang bernama Faris itu.
Jantung Marisa semakin berdebar, “Ada apa ini?” kalimat itu berulang kali diucap dalam hatinya.“Ikut kemana akhi?” jawab Marisa.
“Loh, ukhtienggak tahu ya? Besok kan seluruh member group dakwah mau silaturahmi di Masjid Alun-alun Bandung. Ukhti ikut kan? Ada Ustadz Felix Siaw juga, sayang kalo enggak ikut.”Bujuknya.
Hati Marisa yang tadinya berdebar berubah jadi normal kembali, Marisa pikir Faris mengajak Marisa kemana, ternyata dia hanya jarkom acara silaturahmi.
Marisa tertawa kecil dan tersipu akibatkekonyolan dan ke GR-an sendiri.
“Iya akhi, insya Allah kalo saya ada waktu, saya datang.” Marisa
memberikan emotion senyum, tetapi pada kenyataannya ia dirundung
kesedihan karena postingannya.
“Baik ukhti, semoga ada waktu dan bisa datang.”Balasnya. Marisa tak balas lagi pesannya.
Postingan Faris selalu mengusik pikirannya, bagaimana tidak, disaat
pertamakalinya Marisa menaruh hati pada seseorang, disaat itu pula
Marisa harus dengan spontan mengambil kembali hatinya. Seseorang yang ia
kagumi sudah menjadi milik orang lain. Untung, Marisa cepat sadarkan
diri bahwa jatuh cinta itu harus karena DIA bukan karena dia. Jodoh
seperti apapun yang DIA berikan harus diterima dengan ikhlas.
“Mungkin Faris bukan jodohku, ya sudahlah.” ucap pasrah dalam hati Marisa berusaha mengobati diri sendiri.Keesokan harinya Marisa bersiap-siap hendak pergi menghadiri silaturahmi group dakwah itu, kebetulan hari itu ia libur kuliah, jadi tiada satu alasan untuk tidak menghadiri acara silaturahmi tersebut.Sesampainya di sana Marisa bertemu dengan orang-orang pecinta Allah yang hebat, ketebalan iman dan kecintaan pada Islam sudah melekat dalam lahir dan bathinnya. Marisa berharap tidak bertemu Faris, namun harapan itu meleset.Ketika Marisa ingin menuju jalan pulang dari acara tersebut,terdengar suara yang sangat tak asing di telinganya.
“Marisa?” panggilnya.
“Iya?” jawabnya sembari menoleh ke arah sumber suara.Marisa berhadapan dengan sosok laki-laki tampan, bertubuh tegap, berhidung mancung, rambut yang rapi, tersenyum sambil menempelkan kedua telapak tangan di depan dadanya.“Faris ya? Assalamu’alaikum.” Marisa gugup dengan kepesonaannya sambil membalas salamnya tanpa berjabat.
“Wa’alaikum salam” mengangguk senyum dan jawab salamnya.“Ada apa memanggil?
”Marisa sedikit penasaran.
“Sepatumu bagus, itu punyamu?” tanpa melihat sepatu karena Faridz sudah melihat sebelum memanggil Marisa.
“Iya, memangnya kenapa?” jawab Marisa heran
“Kalo boleh tahu dimana alamat orangtua anti?” sontak pertanyaan Faridz menyambar.
“Tanya begitu memangnya mau ngapain?”Marisa tambah heran.“Ana akan segera mengkhitbah anti.”Hati Faris bersemangat dan tersipu malu tersorot wajahnya yang memerah.“Kok bisa?Apa yang membuat anta begitu cepat ingin mengkhitbahku?”Marisa semakin bingung dibuatnya.“Sepatu anti.”Jawabnya singkat, matanya menunjuk sepatu Marisa yang dikenakannya.
“Tolong jangan bercanda dalam masalah serius seperti ini.” Desak Marisa.“Siapa yang bercanda wahai An-Nisaa, sepatumu yang setiap hari kulihat di rak sepatu Mushola kampusku, selama ini ana mencari orang yang memiliki sepatu itu, tapi belum kunjung bertemu, setiap kali ana melaksanakan sholat duha di Mushola, ana dengar lantunan ayat suci yang indah dari pemilik sepatu itu, tak ada lagi sepatu lain di rak itu, jadi sudah pasti antilah wanita yang selama ini ana cari.” jelas Faris.
“Jadi selama ini yang kalimat takbirnya membuat hati bergetar itu takbirnya anta? Anta yang setiap hari sholat duha di Mushola Firdaus?”Anta yang selama ini saya intip dari bawah gordeng Mushola Firdaus?”Tanya Marisa keceplosan.
“Kita satu Universitas?” Marisa tak kuasa menantang sinar bening di matanya tertetes kebahagiaan, hatipun sulit berdialog dengan bahasa apa yang mampu menggambarkan apa yang mereka harus utarakan.Dengan berjalannya waktu mereka melangsungkan pernikahan diusia muda, Mereka tidak khawatir dengan masalah rezeki dan lain sebagainya nanti, Allah yang berhak mengatur makhluk-Nya. Kini mereka resmi menjadi sepasang suami istri.Tidak lama kemudian mereka dikaruniai anak perempuan, mereka namai dengan nama Mushola. Sesuai dengan tempat di mana mereka dipertemukan oleh Allah.“Itulah jawabannya Nak, mengapa kamu Bunda berinama Mushola. Ayah dengan Bunda sangat mencintai Mushola, Ayah dan Bunda dipertemukan di sana, malukah kamu Nak, Bunda berinama Mushola?” Jawaban yang penuh ketulusan.“Enggak Bunda, Mushola enggak malu, maafkan Mushola jika sudah menyinggung Bunda dan Ayah.” Mushola memeluk Marisa begitu erat.Mereka telah menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah.
Oleh : irma
di Komunitas Bisa Menulis
0 comments:
Post a Comment