“Mush, Mushola bangun. Udah adzan loh, sholat dulu gih!” Seru lembut wanita cantik yang tanpa sadar sudah lama menggoyang-goyangkan tubuhku itu.“Iya.”jawabku singkat dan pelan.
“Bagaimana bisa aku memiliki nama yang semua temanku pikir itu tidak gaul, tidak modern dan aneh? Apa tidak ada lagi nama lain selain Mushola? Setiap hari aku dibully di sekolah hanya karena nama itu yang aku anggap wadah kesedihan.” Aku mengeluh padanya dan tertunduk bingung.
“Orangtua tidak akan memberi nama tanpa arti, pasti ada makna disetiap nama yang orangtua berikan, dan orangtua memberi nama pada anaknya adalah nama yang sebaik-baiknya.Ya, termasuk namamu.”
Sesampainya di kampus tempat pertama ia tuju adalah tempat favoritnya, bahkan sudah ia nobatkan sebagai rumah kedua, yaitu Mushola. Tempat yang bisa dibilang sempit, tidak seluas ruangan kelas dan sebagus ruangan-ruangan lain di kampus, namun baginya hanya tempat itulah bisa tercurahkan semua rasa hatinya.
“Astaghfirullah, mikir apa sih kamu ini Marisa.” gerutunya pada diri sendiri sembari mengelus dada. Terkadang, menjomblo selama 9 tahun membuat Marisa resah tentang jodoh, namun ia punya obat ampuh untuk melipur gundahnya. Marisa berteguh pada firman Allah dalam surat (An-Nisaa 4:1) yang artinya :
“Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali.”
Jemarinya memainkan tombol keyboard, saat proses loading tiba-tiba ada satu pesan.
“Assalamu’alaikum ukhti?” Marisa kaget, pesan itu dari Faridz, tidak biasanya ia mengirim pesan. Aneh.Paling-paling kalau chatting Marisa yang terlebih dahulu mengirim pesan, itupun dalam konteks yang serius seperti bertanya seputar agama, politik dan lain-lain.
Terlintas dipikirannya untuk tidak membalas tapi tidak ada alasan untuk tidak membalas. “Wa’alaikum salam akhi, ada apa?” Marisa tidak hanya menjawab salamnya, terpaksa ia tanya dan berharap penasarannya segera mereda karena Faris yang mengirim message terlebih dahulu. Membalas pesannya
“Ukhti nanti mau ikut?” tanya laki-laki yang bernama Faris itu.
Jantung Marisa semakin berdebar, “Ada apa ini?” kalimat itu berulang kali diucap dalam hatinya.“Ikut kemana akhi?” jawab Marisa.
“Loh, ukhtienggak tahu ya? Besok kan seluruh member group dakwah mau silaturahmi di Masjid Alun-alun Bandung. Ukhti ikut kan? Ada Ustadz Felix Siaw juga, sayang kalo enggak ikut.”Bujuknya.
Hati Marisa yang tadinya berdebar berubah jadi normal kembali, Marisa pikir Faris mengajak Marisa kemana, ternyata dia hanya jarkom acara silaturahmi.
“Baik ukhti, semoga ada waktu dan bisa datang.”Balasnya. Marisa tak balas lagi pesannya.
“Mungkin Faris bukan jodohku, ya sudahlah.” ucap pasrah dalam hati Marisa berusaha mengobati diri sendiri.Keesokan harinya Marisa bersiap-siap hendak pergi menghadiri silaturahmi group dakwah itu, kebetulan hari itu ia libur kuliah, jadi tiada satu alasan untuk tidak menghadiri acara silaturahmi tersebut.Sesampainya di sana Marisa bertemu dengan orang-orang pecinta Allah yang hebat, ketebalan iman dan kecintaan pada Islam sudah melekat dalam lahir dan bathinnya. Marisa berharap tidak bertemu Faris, namun harapan itu meleset.Ketika Marisa ingin menuju jalan pulang dari acara tersebut,terdengar suara yang sangat tak asing di telinganya.
“Marisa?” panggilnya.
“Iya?” jawabnya sembari menoleh ke arah sumber suara.Marisa berhadapan dengan sosok laki-laki tampan, bertubuh tegap, berhidung mancung, rambut yang rapi, tersenyum sambil menempelkan kedua telapak tangan di depan dadanya.“Faris ya? Assalamu’alaikum.” Marisa gugup dengan kepesonaannya sambil membalas salamnya tanpa berjabat.
“Wa’alaikum salam” mengangguk senyum dan jawab salamnya.“Ada apa memanggil?
”Marisa sedikit penasaran.
“Sepatumu bagus, itu punyamu?” tanpa melihat sepatu karena Faridz sudah melihat sebelum memanggil Marisa.
“Iya, memangnya kenapa?” jawab Marisa heran
“Kalo boleh tahu dimana alamat orangtua anti?” sontak pertanyaan Faridz menyambar.
“Tanya begitu memangnya mau ngapain?”Marisa tambah heran.“Ana akan segera mengkhitbah anti.”Hati Faris bersemangat dan tersipu malu tersorot wajahnya yang memerah.“Kok bisa?Apa yang membuat anta begitu cepat ingin mengkhitbahku?”Marisa semakin bingung dibuatnya.“Sepatu anti.”Jawabnya singkat, matanya menunjuk sepatu Marisa yang dikenakannya.
“Tolong jangan bercanda dalam masalah serius seperti ini.” Desak Marisa.“Siapa yang bercanda wahai An-Nisaa, sepatumu yang setiap hari kulihat di rak sepatu Mushola kampusku, selama ini ana mencari orang yang memiliki sepatu itu, tapi belum kunjung bertemu, setiap kali ana melaksanakan sholat duha di Mushola, ana dengar lantunan ayat suci yang indah dari pemilik sepatu itu, tak ada lagi sepatu lain di rak itu, jadi sudah pasti antilah wanita yang selama ini ana cari.” jelas Faris.
“Jadi selama ini yang kalimat takbirnya membuat hati bergetar itu takbirnya anta? Anta yang setiap hari sholat duha di Mushola Firdaus?”Anta yang selama ini saya intip dari bawah gordeng Mushola Firdaus?”Tanya Marisa keceplosan.
“Kita satu Universitas?” Marisa tak kuasa menantang sinar bening di matanya tertetes kebahagiaan, hatipun sulit berdialog dengan bahasa apa yang mampu menggambarkan apa yang mereka harus utarakan.Dengan berjalannya waktu mereka melangsungkan pernikahan diusia muda, Mereka tidak khawatir dengan masalah rezeki dan lain sebagainya nanti, Allah yang berhak mengatur makhluk-Nya. Kini mereka resmi menjadi sepasang suami istri.Tidak lama kemudian mereka dikaruniai anak perempuan, mereka namai dengan nama Mushola. Sesuai dengan tempat di mana mereka dipertemukan oleh Allah.“Itulah jawabannya Nak, mengapa kamu Bunda berinama Mushola. Ayah dengan Bunda sangat mencintai Mushola, Ayah dan Bunda dipertemukan di sana, malukah kamu Nak, Bunda berinama Mushola?” Jawaban yang penuh ketulusan.“Enggak Bunda, Mushola enggak malu, maafkan Mushola jika sudah menyinggung Bunda dan Ayah.” Mushola memeluk Marisa begitu erat.Mereka telah menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah.
Oleh : irma
di Komunitas Bisa Menulis